Gerakan Anti Militer Myanmar Siap Hujani Medan Perang – Panasnya penyusupan ekonomi dunia serta hujan politik yang hingga kini semakin deras telah membuat Myanmar merasa kelimpungan dalam mengatasi keadaan negara. Terlihat bahwa sejak awal Agustus lalu, beberapa gerakan anti militer Myanmar menyatakan bahwa mereka siap menghujani medan perang secara pasti.
Menurut kabar terbaru BBC, Senin (150822), aksi militer di negara tersebut secara mengejutkan telah mengkudeta kepemerintahan setempat. Dan ironisnya tak banyak publik yang terlibat untuk meretas ketidakadilan tersebut.
Hal tersebut memicu orang kepercayaan oposisi anti militer, Aung San Suu Kyi untuk menggerakkan pasukannya dalam menyudahi krisis politik negara. Dirinya berhasil mendirikan pasukan bersenjata ilegal jika terjadi penindakan yang dilancarkan kubu pemerintahan.
Tapi sayangnya Ia harus mendekam di bui atas dasar provokasi kemunculan gerakan anti militer. Pihak pemerintah langsung menyatakan bahwa peranannya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sangat layak diagungkan serta tidak mempersilahkan kalangan luar ikut campur dalam kepentingan negara.
Beberapa waktu lalu, aktivis ternama Hlaing Tharyar, Moe Sandar Myint mendapati ketidaksinambungan terhadap warga sipil yang secara tiba – tiba sambungan telepon dan internet di seluruh Kota terputus. Pihaknya merasa bahwa hal tersebut merupakan kudeta pemerintahan yang ingin menguasai seutuhnya.
“Kami pun tidak begitu percaya adanya kabar tersebut. Akan tetapi setelah saya membuktikan secara langsung, nyatanya telah terjadi kudeta besar – besaran di wilayah Yangon,” kata Myint.
“Pada saat itu kondisi kami benar – benar hancur dan kacau balau. Padahal Myanmar baru saja bangkit dari keterpurukan.
Kami hanya ingin mencari barisan diktator untuk menghentikan kerusuhan publik. Namun sayangnya semua yang kami lakukan merasa tak berguna. Dan mereka berhasil menyembunyikan kisruh politik yang terpendam,” tambahnya.
Di sisi lain, penasehat Suu Kyi, Win Htein telah menyerukan serangkaian ketidakpuasannya terhadap masa depan warga sipil. Baginya, kondisi tersebut merupakan permainan orang dalam yang diprakarsai oleh pemerintahan militer junta beberapa tahun silam.
Setelah mengadakan rapat gerakan anti militer, mereka berhasil membentuk Organisasi Pembangkangan Sipil (CDM) yang di dalamnya beranggotakan para guru, petugas kesehatan dan jabatan menengah lainnya.
Baiknya lagi, gerakan tersebut didukung sepenuhnya oleh kalangan etnik minoritas, anggota LGBT+, publik figur, pegawai negeri hingga serikat pekerja. Tujuan utama gerakan tersebut menindak secara tegas aksi kekerasan yang berujung fatal terhadap warga setempat. Mereka hanya menginginkan perdamaian negara yang abadi.
Kemudian Moe Sandar Myint bersama para demonstran lainnya terpaksa turun ke jalan untuk menghapus masa jabatan Suu Kyi dengan maksud memulihkan pemerintahan.
Menyelamatkan Diri dari Bala Ancaman
Kudeta di bawah kekuasaan pemerintahan semakin menjadi – jadi. Para demonstran yang terjun ke jalanan terlihat seperti melakukan karnaval tahunan. Akan tetapi hal tersebut berbanding terbalik dengan yang dilakukan Moe Sandar Myint.
Terlihat dengan jelas bahwa dirinya langsung menyelamatkan diri dari bala ancaman pasukan anti militer Suu Kyi. Kabarnya dirinya tidak ingin para aktivisnya tertembak atau mengalami luka serius jika masih diteruskan.
Berdasarkan keterangan BBC, Myint menyikapi kekhawatiran itu melakukan eksil ke Thailand dengan membawa 3 anak dan suaminya. Sejak berada di Yangon, mereka terlihat tidak bebas dalam mengeksplor seluruh Kota.
Tercatat bahwa mereka harus menghentikan langkah untuk keluar perbatasan Myanmar dengan alasan peperangan yang terjadi di sekitarnya antara organisasi etnik minoritas dan gerakan anti militer pemerintahan.
Alhasil, mereka pun terpaksa melanjutkan perjalanan panjang saat malam tiba untuk menyinggahi Thailand.
Larangan Protes Terhadap Pemerintahan
Situasi yang menyulitkan para warga sipil untuk menunaikan tugasnya secara umum yakni peran pemerintah menghapus aksi protes dengan alasan apa pun. Dimana hal itu bermula pada kejadian Maret 2021 silam, para anggota kudeta telah meluncurkan bala tentara untuk mengecam sejumlah aksi demonstran.
Di awal Maret lalu, Myint melihat bahwa kekerasan tersebut sangat tidak pantas untuk terjadi lagi. Sebab masa depan seluruh warga sangat bergantung dengan kebijakan pemerintahan.
Seperti diketahui bahwa Hlaing Tharyar merupakan daerah yang kerap dipadati oleh lapisan imigran asing. Mereka tidak serta merta untuk melakukan aksi blokade jalan untuk meminimalisir pertahanan pada aparat.
Lantas suami Moe Sandar Myint, Ko Uang membuka suara atas terjadinya peristiwa itu. Bagaimana nasib masa depan generasi penerus bangsa jika terjadi penindakan tak wajar dalam ranah sosial. Dirinya menyaksikan secara nyawa betapa banyak nyawa yang harus terbayarkan.
“Kami rasa gerakan anti militer sangat berguna untuk mentolerir ketidakadilan. Sekalipun mereka bukan merupakan pasukan terlatih, tapi setidaknya jaminan sosial seluruh warga sipil tidak terancam bahaya besar,” tutur Ko Uang.
Merasakan Hidup Baru
Proses mengasingkan diri tahanan telah membuat Aung San Suu Kyi benar – benar merasakan hidup baru. Sebab dirinya berani menatap kursi persidangan tanpa dihadiri oleh pihak tertentu dan awak media.
Selanjutnya para pendukung Suu Kyi membentuk organisasi Pemerintah Persatuan Nasional (NUG) dengan tujuan memperluas kepemimpinan oposisi dan pengakuan internasional demi meraup kalangan etnik minoritas.
Akan tetapi sekelompok anggota tersebut secara perlahan mulai mengundurkan diri dan lebih memilih untuk mengasingkan diri terhadap serangan anti militer.
Diketahui bahwa memiliki Pasukan Pertahanan Rakyat (PDF) bertaraf lokal yang tidak terlalu menyegani para pejabat di bahwa naungan militer junta. Mereka berhasil memiliki senjata rakitan dengan merampas persenjataan militer dan bahan peledak untuk menghadang pasukan konvoi militer.
Beberapa aktivis etnik minoritas menilai bahwa gerakan anti militer siap menghujani medan perang. Karena mereka memiliki peran besar terhadap jaminan keamanan seluruh warga sipil.